Langsung ke konten utama

Well, Every Story Doesn't Have a Happy Ending. It Could Be Saddest Than You Ever Imagine.

Panjang bener judulnye.

Stalky, mau curhat dong. Kenapa sih, sendu selalu bergurau dikala hujan?
Bersamaan dengan secangkir teh dan obat mual, aku bercerita...

Cerita pertama:
Di suatu hari, ada sepasang sepatu kulit warna putih tergeletak secara acak yang terciprat darah. Darah itu telah mengering, pertanda darah itu sudah lama berada di sepatu tersebut. Satu hari kemudian pemiliknya datang dan memungut sepatu itu kembali, dan dia membiarkan darah tersebut menjadi ornamen selama beberapa minggu. Perharinya, darah itu diseka oleh tetesan air hujan yang mengenai sepatu tersebut, jadilah sepatu itu lembap dan mulai retak karena kering, rusak dipapar sinar matahari.
Kemudian pemilik sepatu tersebut berfikir, sepatunya sudah jelek.
Keesokan harinya dia melewati sebuah toko sepatu. Dilihatnya sepatu kulit yang jauh lebih mentereng dibandingkan dengan sepatunya kini. Dia tertegun beberapa saat, dan melanjutkan langkahnya untuk bekerja.
Di setiap harinya dia selalu melewati toko tersebut dan makin tergoda untuk membelinya. Namun tepat pada hari dia ingin membeli sepatu tersebut, sepatu yang selalu ada di dalam bayangannya telah terjual. Dipakai dan diinjak-injak kaki orang selain kakinya.
Dia kecewa, dan memutuskan untuk tetap memakai sepatu tersebut.
Beberapa hari kemudian, dia melihat sepatu model terbaru. Karena takut untuk kecewa kedua kalinya, segeralah dia memasuki toko tersebut dan mencoba sepatu itu, yang jauh lebih mentereng serta keren. Sayangnya, sepatu yang ia coba samasekali tidak nyaman dipakai.
Tidak seperti sepatu jeleknya yang nyaman, dan juga setia menemaninya kemanapun dia pergi.
"Jauh lebih baik jika kau kudandani," ujarnya menunduk kepada sepatu tuanya.
Dengan perasaan yang campur aduk, dia melanjutkan perjalanan ke tempat dia kerja.
Pemiliknya tahu, sepatunya tahu. Bahwa mereka bahagia.

**
Cerita kedua:
Di suatu dunia, setiap anak yang lahir akan diberi gelas yang berisi air.
Anak yang kuceritakan ini mendapatkan gelas yang berisikan air keruh.
Makin usianya bertambah, makin dia menyadari: kenapa punyaku keruh? kenapa tidak seperti lainnya yang jernih?
Di usianya yang sudah remaja, dia menyadari bahwa gelas tersebut tidak cocok untuk jadi pegangannya.
Selama bertahun-tahun, dia berjalan dan terus berjalan untuk mencari tempat yang tepat untuk membuang air keruhnya. Ditemukan sebuah tempat, dimana semua orang yang sepikiran dengannya...dengan cara yang berbeda. Beberapa manusia yang dia lihat, ada yang membuang airnya sampai habis dan membersihkan gelasnya dan membiarkan gelas tersebut kosong, ada pula yang meminum isinya dan membuang gelas tersebut lalu berjalan dengan gelas lain yang baru, dan terakhir yang dia lihat ada orang yang mengisi gelas tersebut dengan airmata dan darahnya kemudian membuang isinya dan pergi dari tempat tersebut.
Anak tersebut menyadari suatu hal yang tidak bisa orang lain pahami.
Bulat tekadnya, dia membuang air tersebut kemudian mencucinya...dengan tetesan air jernih yang ia temukan di seberang tempat nista tersebut. Kemudian pulang dengan membawa gelas lama yang terisi dengan air suci.
Dengan rona bahagia.

-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paranoia #01

Dipertemukan dengan kalkulus rasanya seperti melihat bom waktu atau microwave. Bahkan lebih mirip seperti memegang batang bunga euphorbia. Sakit. Tapi teradiksi. Mendadak, kilatan putih menari-nari di hadapannya. Listrik yang berbentuk gumpalan rambut bercabang menari di atas kepalanya. Petir, begitu manusia menyebutnya. Inji begitu gundah, diiringi irama tubuh kerajaan awan, suara hujan mengantarnya ke dimensi lain. Dimana dimensi tersebut Ia dapat melihat tarian petir itu makin progresif. Sekali lagi, Inji mengalami halusinasi. Angka-angka di dalam modul matematikanya bergerak, berpindah keluar dari halaman buku. Awalnya mereka ramai berkerumun, kemudian membentuk barisan dan kembali lagi ke tempat masing-masing sambil menyanyikan lagu berbahasa Rusia. Mereka pikir, ini adalah medan perang. Mungkin ada benarnya. Mereka berusaha memberitahuku. Ini perang, pikirnya dalam-dalam kemudian teringat kuis dosennya yang diadakan esok pagi. "Terima kasih, kartesius." bisiknya ge...

Want what you have

Society says when you have these things, you'll be happy. What have you wanted desperately for years...and finally gotten?  Remember what it was like not having it? Now think about what it is like having it. Ready to die happy?  ...Me either. Happiness does not come from getting you want. You'll feel happier when you want what you get. In other words, you're content with what you have now. The less I want. The more I get. The exact opposite way most of the society operates.  Life is full of paradoxes, isn't it?