Langsung ke konten utama

Want what you have

Society says when you have these things, you'll be happy.

What have you wanted desperately for years...and finally gotten?

 Remember what it was like not having it?

Now think about what it is like having it. Ready to die happy?

 ...Me either.

Happiness does not come from getting you want.

You'll feel happier when you want what you get. In other words, you're content with what you have now.

The less I want. The more I get.

The exact opposite way most of the society operates.

 Life is full of paradoxes, isn't it?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paranoia #01

Dipertemukan dengan kalkulus rasanya seperti melihat bom waktu atau microwave. Bahkan lebih mirip seperti memegang batang bunga euphorbia. Sakit. Tapi teradiksi. Mendadak, kilatan putih menari-nari di hadapannya. Listrik yang berbentuk gumpalan rambut bercabang menari di atas kepalanya. Petir, begitu manusia menyebutnya. Inji begitu gundah, diiringi irama tubuh kerajaan awan, suara hujan mengantarnya ke dimensi lain. Dimana dimensi tersebut Ia dapat melihat tarian petir itu makin progresif. Sekali lagi, Inji mengalami halusinasi. Angka-angka di dalam modul matematikanya bergerak, berpindah keluar dari halaman buku. Awalnya mereka ramai berkerumun, kemudian membentuk barisan dan kembali lagi ke tempat masing-masing sambil menyanyikan lagu berbahasa Rusia. Mereka pikir, ini adalah medan perang. Mungkin ada benarnya. Mereka berusaha memberitahuku. Ini perang, pikirnya dalam-dalam kemudian teringat kuis dosennya yang diadakan esok pagi. "Terima kasih, kartesius." bisiknya ge

Lightworking

Waning Gibbous. 🌓 Beberapa hari setelah full moon, saatnya mencoba meditasi ngelepasin residu buruk, divisualisasikan dengan cara dikonversi menjadi daun kering lalu dibakar, asapnya dibiarkan terbang ke langit. Hilang. Electra muncul, mukanya sedih. "Kamu mau bakar aku juga?" ujarnya pilu. Lemes. Kami diam. Kathreen datang menengahi. "Kalau kamu mau lepaskan kami, silahkan. Kami sudah dan cukup untuk kamu," "kami sudah dan cukup untuk kamu." Tegasnya. Dadaku sesak, rasanya seperti akan menangis sesenggukan. Siapa pula yang akan menjadi pelarianku nanti kalau bukan kamu, Kath? Siapa yang akan berani nonjok orang yang mencederai harga diriku kalau bukan kamu, El? Ada bayangan leluhur dan archangel sekelibat. "Ada kami." ⭐

Paranoia #5: El dan Deja vĂș

"Tolong." Desah suara yang tidak asing di telinga Inji menggema sampai ujung lorong asrama perempuan. Ah, cewek fanatik teori kucing schrödinger itu berulah lagi. Dugaannya salah, suara itu berasal dari otaknya sendiri. -time wrap- Inji terdiam, dia samasekali tak mengenali tempat ini. Dan dihadapannya sudah ada pemilik dirinya. "Deras juga hujannya. Beruntung kita sudah berteduh di kafe ini," kata Electra sembari mengaduk tehnya yang baru diberi susu. "Halo. Kita bertemu lagi." "Rasanya ada yang berbeda dari dirimu. Matamu, ya matamu kenapa, Nji?" Lanjutnya. Inji menggeleng pelan. "Sudahlah, mengaku saja. Kau sudah tidak tidur berapa hari?" "Lima." Mereka tertawa. "El, aku sungguh berhutang padamu. Kemarin malam itu..." "Tak perlu dibahas, aku sudah tau itu. Kau hanya perlu istirahat sekarang." [System database turned off] "Maafkan aku, Nji. Demi kebaikanmu." "Malam itu meman