Ketika saya mulai membuka diri tentang depresi dan borderline ke teman-teman dan mereka bilang, "padahal selama ini kamu terlihat normal"
Gini,
Saya normal. Saya masih bisa mengerjakan skripsi dan bekerja. Hanya saja kadang terganggu dengan moodswing yang ekstrim. Saya juga punya ketakutan yang ekstrim akan penolakan. Ditolak ketemuan sama teman, ditolak dosen, dan sebagainya.
Pernah ada yang bilang, "kamu sakit begitu karena kurang bersyukur sih," atau "kurang solat kali lu" Hehe, saya cuma bisa ketawa aja. Wong dia gak tau kayak gimana usaha saya buat sembuh. Saya maafkan atas ketidaktahuan dia.
Kalau selama ini kamu kira bahwa seorang yang depresi hanya ingin bahagia, tidak seperti itu. Bukan itu yang saya rasakan. Saya hanya ingin rasa sakit tersebut hilang dengan cara apapun. Termasuk menyakiti diri sendiri sampai bunuh diri.
Sering kali terlintas di pikiran saya untuk menjemput kematian. Tapi sebenarnya hal itu tidak mudah. Meskipun sangat sering untuk berpikir ingin mati, namun saya tetap takut untuk mati. Aneh? Iya.
Saya hanya ingin rasa nyeri dan sakit dari otak saya hilang.
Gak bisa gini terus.
Yang bisa menyelamatkan diri saya adalah saya sendiri.
Saya harus ke profesional.
Hingga pada akhirnya, awal Mei 2018 saya didiagnosa oleh dokter dan menjalani terapi obat. Gak singkat perubahannya memang, tapi sangat membantu untuk keseharian saya.
Andaikan saya bisa ngomong sama masa lalu, saya mau bilang:
"Hidup gak pernah sempurna. Kadang aku juga masih jatuh, kok. Tapi sekarang aku jauh lebih baik. Perihnya gak separah dulu. Dan aku sudah mengenali diri dengan baik. Aku bahagia. Badai sudah berlalu. Trust me."
Gak lupa, saya juga mau bilang:
"Terimakasih sudah berkali-kali bangkit untuk kita. Aku sayang kamu."
Ya. Badai pasti berlalu.
Namun tetap persiapkanlah dirimu untuk badai-badai berikutnya.
Badai pasti berlalu.
Teruntuk Kathreen dan Electra.
Dari Intan.
Komentar