Langsung ke konten utama

Paranoia #01

Dipertemukan dengan kalkulus rasanya seperti melihat bom waktu atau microwave. Bahkan lebih mirip seperti memegang batang bunga euphorbia. Sakit. Tapi teradiksi.
Mendadak, kilatan putih menari-nari di hadapannya. Listrik yang berbentuk gumpalan rambut bercabang menari di atas kepalanya. Petir, begitu manusia menyebutnya. Inji begitu gundah, diiringi irama tubuh kerajaan awan, suara hujan mengantarnya ke dimensi lain. Dimana dimensi tersebut Ia dapat melihat tarian petir itu makin progresif.
Sekali lagi, Inji mengalami halusinasi.
Angka-angka di dalam modul matematikanya bergerak, berpindah keluar dari halaman buku. Awalnya mereka ramai berkerumun, kemudian membentuk barisan dan kembali lagi ke tempat masing-masing sambil menyanyikan lagu berbahasa Rusia.
Mereka pikir, ini adalah medan perang. Mungkin ada benarnya. Mereka berusaha memberitahuku. Ini perang, pikirnya dalam-dalam kemudian teringat kuis dosennya yang diadakan esok pagi.
"Terima kasih, kartesius." bisiknya getir.
***
"Sudah larut, ayo tidur." potong Jiro di tengah percakapan mereka yang mulai menghening.
"Tak apa, kah?" sebenarnya dia telah lama mengantuk, karena Xanax.
"Iya. Tubuhmu itu terdiri dari banyak sel yang hidup. Mereka butuh regenerasi."
"Ya, memang benar. Sudah seharian sel-sel tubuhku bekerja, layaklah mereka mendapatkan haknya untuk istirahat."
"...jangan lupa minum. Selamat tidur, Mawar Hitam." lanjutnya menutup telepon.
Sesaat itu juga, Inji sudah jatuh ke dalam jurang yang amat dalam. Jurang mimpi, dimana di dasarnya terdapat banyak makhluk hidup yang tidak jelas, benda mati raksasa yang tak jelas warnanya, serta lorong waktu yang tidak bisa dipandu oleh arloji.
"Hey, gadis. Aku akan menjaga tidurmu," kata cicak di langit-langit kamarnya.

-

Published with Blogger-droid v2.0.6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Badai Pasti Berlalu

Ketika saya mulai membuka diri tentang depresi dan borderline ke teman-teman dan mereka bilang, "padahal selama ini kamu terlihat normal" Gini, Saya normal. Saya masih bisa mengerjakan skripsi dan bekerja. Hanya saja kadang terganggu dengan moodswing yang ekstrim. Saya juga punya ketakutan yang ekstrim akan penolakan. Ditolak ketemuan sama teman, ditolak dosen, dan sebagainya. Pernah ada yang bilang, "kamu sakit begitu karena kurang bersyukur sih," atau "kurang solat kali lu" Hehe, saya cuma bisa ketawa aja. Wong dia gak tau kayak gimana usaha saya buat sembuh. Saya maafkan atas ketidaktahuan dia. Kalau selama ini kamu kira bahwa seorang yang depresi hanya ingin bahagia, tidak seperti itu. Bukan itu yang saya rasakan. Saya hanya ingin rasa sakit tersebut hilang dengan cara apapun. Termasuk menyakiti diri sendiri sampai bunuh diri. Sering kali terlintas di pikiran saya untuk menjemput kematian. Tapi sebenarnya hal itu tidak mudah. Meskipun s...

Want what you have

Society says when you have these things, you'll be happy. What have you wanted desperately for years...and finally gotten?  Remember what it was like not having it? Now think about what it is like having it. Ready to die happy?  ...Me either. Happiness does not come from getting you want. You'll feel happier when you want what you get. In other words, you're content with what you have now. The less I want. The more I get. The exact opposite way most of the society operates.  Life is full of paradoxes, isn't it?