Dipertemukan dengan kalkulus rasanya seperti melihat bom waktu atau microwave. Bahkan lebih mirip seperti memegang batang bunga euphorbia. Sakit. Tapi teradiksi.
Mendadak, kilatan putih menari-nari di hadapannya. Listrik yang berbentuk gumpalan rambut bercabang menari di atas kepalanya. Petir, begitu manusia menyebutnya. Inji begitu gundah, diiringi irama tubuh kerajaan awan, suara hujan mengantarnya ke dimensi lain. Dimana dimensi tersebut Ia dapat melihat tarian petir itu makin progresif.
Sekali lagi, Inji mengalami halusinasi.
Angka-angka di dalam modul matematikanya bergerak, berpindah keluar dari halaman buku. Awalnya mereka ramai berkerumun, kemudian membentuk barisan dan kembali lagi ke tempat masing-masing sambil menyanyikan lagu berbahasa Rusia.
Mereka pikir, ini adalah medan perang. Mungkin ada benarnya. Mereka berusaha memberitahuku. Ini perang, pikirnya dalam-dalam kemudian teringat kuis dosennya yang diadakan esok pagi.
"Terima kasih, kartesius." bisiknya getir.
***
"Sudah larut, ayo tidur." potong Jiro di tengah percakapan mereka yang mulai menghening.
"Tak apa, kah?" sebenarnya dia telah lama mengantuk, karena Xanax.
"Iya. Tubuhmu itu terdiri dari banyak sel yang hidup. Mereka butuh regenerasi."
"Ya, memang benar. Sudah seharian sel-sel tubuhku bekerja, layaklah mereka mendapatkan haknya untuk istirahat."
"...jangan lupa minum. Selamat tidur, Mawar Hitam." lanjutnya menutup telepon.
Sesaat itu juga, Inji sudah jatuh ke dalam jurang yang amat dalam. Jurang mimpi, dimana di dasarnya terdapat banyak makhluk hidup yang tidak jelas, benda mati raksasa yang tak jelas warnanya, serta lorong waktu yang tidak bisa dipandu oleh arloji.
"Hey, gadis. Aku akan menjaga tidurmu," kata cicak di langit-langit kamarnya.
-
Komentar