Langsung ke konten utama

Ini bukanlah fiksi. Ini kisah tentang seorang lelaki yang tak bisa bersetia dan seorang perempuan yang menunggu. Si lelaki akhirnya menyerah pada kelemahannya dan si perempuan lelah menunggu si lelaki berubah. Si perempuan adalah matahari yang memberi dengan kerelaan, sementara si lelaki adalah malam gelap yang dingin dan muram. Keduanya telah berusaha untuk tidak menyerah pada harapan. Namun lagi-lagi si lelaki tak bisa bersetia. Pada dirinya sendiri ia telah berkhianat lantas si perempuan memilih untuk tidak lagi hidup bersia-sia.

Kami berpisah. Semoga dengan baik-baik. Semoga ini tidak membawa luka. Juga pada siapapun.

Demikian.

Credit to: Arman Dhani (@arman_dhani)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paranoia #01

Dipertemukan dengan kalkulus rasanya seperti melihat bom waktu atau microwave. Bahkan lebih mirip seperti memegang batang bunga euphorbia. Sakit. Tapi teradiksi. Mendadak, kilatan putih menari-nari di hadapannya. Listrik yang berbentuk gumpalan rambut bercabang menari di atas kepalanya. Petir, begitu manusia menyebutnya. Inji begitu gundah, diiringi irama tubuh kerajaan awan, suara hujan mengantarnya ke dimensi lain. Dimana dimensi tersebut Ia dapat melihat tarian petir itu makin progresif. Sekali lagi, Inji mengalami halusinasi. Angka-angka di dalam modul matematikanya bergerak, berpindah keluar dari halaman buku. Awalnya mereka ramai berkerumun, kemudian membentuk barisan dan kembali lagi ke tempat masing-masing sambil menyanyikan lagu berbahasa Rusia. Mereka pikir, ini adalah medan perang. Mungkin ada benarnya. Mereka berusaha memberitahuku. Ini perang, pikirnya dalam-dalam kemudian teringat kuis dosennya yang diadakan esok pagi. "Terima kasih, kartesius." bisiknya ge...

Lightworking

Waning Gibbous. 🌓 Beberapa hari setelah full moon, saatnya mencoba meditasi ngelepasin residu buruk, divisualisasikan dengan cara dikonversi menjadi daun kering lalu dibakar, asapnya dibiarkan terbang ke langit. Hilang. Electra muncul, mukanya sedih. "Kamu mau bakar aku juga?" ujarnya pilu. Lemes. Kami diam. Kathreen datang menengahi. "Kalau kamu mau lepaskan kami, silahkan. Kami sudah dan cukup untuk kamu," "kami sudah dan cukup untuk kamu." Tegasnya. Dadaku sesak, rasanya seperti akan menangis sesenggukan. Siapa pula yang akan menjadi pelarianku nanti kalau bukan kamu, Kath? Siapa yang akan berani nonjok orang yang mencederai harga diriku kalau bukan kamu, El? Ada bayangan leluhur dan archangel sekelibat. "Ada kami." ⭐